Sekilas.co – Setiap tanggal 3 Desember, masyarakat dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Peringatan ini bukan hanya sekadar simbol, melainkan ajakan untuk terus menyuarakan kesetaraan, membuka ruang kreativitas, serta merayakan kontribusi luar biasa penyandang disabilitas di berbagai bidang kehidupan.
Di Indonesia, panggung seni dan hiburan telah menjadi saksi lahirnya talenta-talenta hebat dari komunitas disabilitas, mereka yang berkarya dengan kemampuan, kerja keras, dan mimpi besar yang sama dengan para pelaku musik pada umumnya.
Namun di balik tepuk tangan dan sorotan lampu panggung, masih ada realitas yang tak bisa dipungkiri. Perjalanan mereka untuk mendapat posisi yang setara dalam industri musik kerap dihadapkan pada dilema antara stereotip sosial dan kalkulasi bisnis yang begitu ketat.
Apresiasi terhadap talenta autentik seringkali terhalang oleh pandangan yang memposisikan disabilitas sebagai alasan untuk dikasihani, bukan dirayakan.
Salah satu contoh nyata kegigihan dalam menembus batas adalah I’m Star, band dengan lima anggota penyandang autisme yang terus membuktikan bahwa ruang kreatif adalah milik semua orang.
Mereka telah menorehkan prestasi membanggakan: pecah rekor MURI, tampil di Istana Negara, hingga beraksi di panggung internasional seperti festival musik di Hong Kong. Pencapaian tersebut membuktikan kemampuan musikal mereka bukan sekadar pembeda, melainkan kekuatan yang layak diperhitungkan secara profesional.
Namun, pendiri I’m Star, Dewi Semarabhawa, menilai bahwa cara pandang industri masih belum sepenuhnya berubah. Meski karya dan kemampuan sudah terbukti, tantangan untuk memperoleh peluang tampil secara profesional masih menghimpit.
“Kita mau masuk ke umum itu agak sulit ya. Karena itu tadi, karena label mereka mungkin ya,” tutur Dewi.
Ia menambahkan bahwa sebagian pihak masih melihat keterlibatan musisi disabilitas sebagai alat untuk memancing rasa iba, bukan sebagai bentuk apresiasi musik yang setara.“Kadang-kadang untuk kalangan umum, mengajak kalangan disabilitas itu lebih untuk menampilkan rasa kasihan. Umum masih seneng melihat yang… kalau kami bilang tuh yang memelas gitu,” lanjutnya.
Situasi tersebut menggambarkan salah satu hambatan terbesar dalam industri: narasi yang menempel pada penyandang disabilitas lebih kuat daripada bakat mereka sendiri.
Apa yang Sebenarnya Dicari Industri Musik?
Untuk memahami lebih jauh sisi bisnisnya, Wawan AEC, praktisi musik sekaligus akademisi yang pernah berada di balik kesuksesan artis populer seperti Coboy Junior dan HiVi!, menjelaskan bahwa ada empat elemen fundamental yang selalu menjadi pertimbangan industri ketika memilih talent.
Komponen pertama adalah Talent itu sendiri. Tetapi bagi Wawan, kualitas ini bukan hanya tentang fisik atau penampilan panggung yang menarik.
“Talent itu artinya bukan apakah dia cakep atau enggak, bukan. Tapi dia punya skill yang memiliki karakter yang kuat atau enggak,” jelasnya.
Saat ini, Wawan aktif sebagai pengajar Music Business di SAE Institute Indonesia, memberikan perspektif langsung dari pusat pembinaan talenta musik modern.





